Cerita seks : PSK dan Sopir Taksi Ilyas Salim, seorang duda berusia tiga puluh enam tahun yang sehari-hari bekerja sebagai sopir taksi Orange. Wajahnya tampan, namun terlihat begitu kesepian karena hidupnya memang kesepian. Tubuhnya tinggi tegap seperti tentara. Sudah delapan tahun ia bekerja sebagai sopir taksi malam untuk mengusir kesepian, sejak sang isteri tewas gantung diri delapan tahun silam. Sejak saat itu juga Ilyas menutup diri terhadap perempuan.
Malam ini, ketika taksi Ilyas melaju pelan di depan gedung BUMN kota Mahaka, ia mendapatkan dua penumpang, laki-laki dan perempuan dewasa yang sama-sama mengenakan seragam PNS. Yang laki-laki bernama Rauf, sedangkan yang perempuan bernama Sarah. Itu terlihat dari tage-name yang menempel di seragam PNS mereka. Ilyas berpikir mereka adalah sepasang suami isteri yang bekerja di tempat yang sama. Namun ada yang aneh dengan mereka setelah keduanya naik dan duduk di jok belakang taksi milik Ilyas. Saat taksi sudah mulai berjalan, keduanya terlihat saling berpelukan dan berciuman begitu liar. Bagaiman sepasang kekasih yang melampiaskan kerinduan mereka setelah bertahun-tahun berpisah. Ilyas hanya diam saja dan melirik mereka dari kaca spion tengah. Ia mulai mencium aroma skandal. Tapi itu bukan urusannya. Tugasnya hanya mengantar penumpang sampai ke ke tujuan.
Setengah jam kemudian, Sarah turun di depan rumah susun Tulsa, sementara Rauf tak ikut turun dan menyuruh Ilyas untuk mengantarnya ke kompleks perumahan elite di Tulsa Barat. Sekarang Ilyas yakin jika Rauf dan Sarah bukanlah sepasang suami isteri, karena mereka tinggal di tempat yang berbeda.
Ketika sampai di depan rumahnya, Rauf dipanggil isteri dan kedua anaknya yang berdiri di depan rumah. Ilyas mengamati mereka dari dalam taksi dengan mata nyalang tak percaya.
“Apa mereka isteri dan anak-anak anda?”Tanya Ilyas, pada Rauf saat pria itu membayar argo taksinya.
Rauf terlihat panik dan tangannya gemetaran. Ia takut jika Ilyas akan membongkar perselingkuhannya pada sang isteri. Rauf lalu spontan menambah uang argo taksinya sebagai uang tutup mulut. Ilyas hanya tersenyum, dan segera pergi menjalankankan taksinya.
Sampai di pom bensin, Ilyas beristirahat sebentar dan pergi ke toilet untuk buang air kecil. Tak disangka, ia melihat lubang kecil di papan tembok sebelah kanan. Ilyas pun langsung keluar dari bilik itu dan mendatangi bilik di sebelahnya. Rupanya ada seorang remaja punk “gay” yang bersembunyi disana, dengan membawa kamera. Ia sengaja merekam setiap pria yang menggunakan bilik toilet dengan tujuan yang tidak baik. Ilyas langsung menghajarnya hingga wajahnya babak belur, lalu merampas kameranya. Ternyata di kamera itu tersimpan banyak berkas video pria-pria yang sedang buang air, mandi, atau masturbasi di dalam toilet. Ilyas merasa ingin muntah saat menontonnya dan langsung menghapus semua berkas video itu. Ia lalu pergi meninggalkan toilet dan menghampiri taksinya yang terparkir di halaman pom bensin.
Ilyas melihat ada Hugo, seorang pemuda yang tak dikenalnya, berdiri di sebelah taksinya, sambil membaca Koran Harian Mahaka. Entah apa isi tas ranselnya yang terlihat begitu berat di punggungnya itu.
“Apa kau sopir taksinya?”
“Benar.”
“Kalau begitu, tolong antar aku ke Marmara. Usahakan jangan lewat jalan protokol. Karena aku sedang menghindari polisi.”
Ilyas mengangguk dan langsuk masuk ke dalam taksinya, begitu juga dengan Hugo yang langsung masuk dan duduk di jok depan, sebelah jok kemudi.
“Kenapa anda tak duduk di jok belakang?”Tanya Ilyas, penasaran, sambil menghidupkan mesin taksinya.
“Tidak. Aku lebih suka duduk di depan.”Jawab Hugo, dengan wajah berkeringat, sambil duduk memangku tas ranselnya begitu erat. Ia lalu membuang korannya ke jok belakang. Ilyas sempat melirik tas ransel yang dirangkul Hugo, dan penasaran dengan apa isinya. Tapi Ilyas tak berani menanyakannya. Ia pun menjalankan taksinya menuju Marmara.
Sepanjang perjalanan, Hugo terus mengoceh tentang aksi perampokan di taksi akhir-akhir ini di kota Delta. Kebanyakan korbannya adalah perempuan. Nada bicaranya biasa saja, tapi itu cukup membuat Ilyas tak nyaman, dan tersindir karena Ilyas juga berprofesi sebagai sopir taksi. Dan keadaan seperti itu berakhir ketika taksi yang dikemudikan Ilyas hampir memasuki jembatan sungai Delta.
Samar-samar terlihat lampu polisi dari kejauhan. “Sepertinya ada razia di depan sana.” Hugo terlihat panik dan meminta agar Ilyas menghentikan taksinya. Ilyas terlihat kebingungan, “Katanya Anda ingin ke Marmara. Tapi ini masih di Delta. Masih tiga kilometer lagi.”
Hugo tak mau tahu. Ia langsung mengeluarkan uang dan membayar argo taksi Ilyas. Setelah itu ia turun dari taksi, dan berlari dengan membawa tas ranselnya, memasuki perkampungan di sebelah kanan jalan. Ekspresinya seperti penjahat yang panik saat melihat polisi.
Ilyas tak ambil pusing, karena uang yang diberikan Hugo ternyata lebih dari argo taksinya. Ia pun langsung membawa taksinya berputar balik ke kota Delta.
Di tengah perjalanan, taksi yang dikemudikan Ilyas melaju pelan di belakang mobil polisi yang melaju kencang di depannya. Dari belakang terlihat jika polisi itu sedang bersama seorang gadis. Polisi itu lalu menepikan mobilnya di sekitar hutan pinus, dan menyuruh gadis yang ada di dalam mobilnya keluar. Terjadi sedikit keributan. Bahkan Sang Polisi mendorong Si Gadis ke pinggir jalan dengan kasar. Setelah itu sang polisi pergi begitu saja dengan mobilnya.
Nama gadis itu Mandira, seorang pekerja seks komersial berusia 25 tahun, yang baru saja melayani seorang oknum polisi yang memiliki kelainan Sadomasokis. Karena pelayanan seksual dari Mandira kurang memuaskan, polisi itu menurunkannya di tengah jalan tanpa bayaran. Padahal wajah Mandira sudah babak belur dihajarnya saat melakukan seks oral sepanjang perjalanan dari Marmara ke Delta. Gadis itu benar-benar rugi, dan sekarang ia ketakutan, karena diturunkan di hutan pinus yang sepi, gelap, dan rawan kejahatan. Sampai akhirnya datang taksi Orange yang dikemudikan Ilyas.
Dengan manisnya, Ilyas menawarkan taksinya untuk mengantar Mandira pulang. Gadis itu diam saja, lalu mengeluarkan ponsel berkameranya, dan memotret plat nomor polisi juga nomor pintu taksi itu, dan memunggah fotonya ke media sosial pribadinya. Setelah itu ia baru mau naik ke dalam taksi, dan minta diantarkan ke Distrik Silla, kota Delta.
Sepanjang perjalanan, Mandira hanya diam dan melamun. Kepalanya ditempel ke kaca jendela samping, dan matanya terpejam sambil menangis. Diam-diam Ilyas memperhatikan pose Mandira saat duduk lewat kaca spion tengah. Gadis itu duduk terlalu ngangkang. Kedua kakinya terbuka, dan paha mulusnya terlihat jelas karena ia mengenakan rok mini yang tipis. Bahkan celana dalamnya yang berwarna merah juga terlihat. Ditambah baju atasnya yang berbebelahan dada rendah. Payudara bagian atasnya terlihat menyembul besar dan menggoda. Berkali-kali Ilyas menelan ludah dan menahan birahinya. Ia lalu mengambil kamera yang dirampasnya dari remaja punk di toilet pom bensin tadi, dan meletakkannya tersembunyi di dekat jok. Ilyas sengaja merekam Mandira dengan kamera itu, sampai akhirnya Mandira membuka mata.
Mandira menemukan Koran Harian Mahaka milik Hugo yang tertinggal di jok belakang. Gadis itu mengambil dan membacanya. Wajahnya langsung berubah ketakutan saat membaca berita utama di halaman depan, tentang aksi perampokan dan pemerkosaan penumpang wanita di dalam taksi malam di kota Delta. Mandira mulai terpengaruh. Muncul ketakutan dan kecurigaan di dalam pikirannya sendiri tentang taksi yang sedang dinaikinya sekarang. Ia pun mencoba untuk membuka pintu yang ada di sebelahnya. Ternyata pintunya terkunci rapat. Ia juga melihat kaca film jendelanya yang begitu gelap. Dua pertanda yang sama persis seperti kronologi aksi perampokan dalam taksi di berita yang baru dibacanya di koran.
“Kenapa Mbak?”Tanya Ilyas, sambil menatap Mandira dengan begitu tajam lewat kaca spion tengah.
“Kenapa pintunya terkunci dan tak bisa kubuka? Ini tidak benar. Cepat hentikan taksinya! Aku turun disini saja!”Balas Mandira, panik, sambil mengeluarkan uang untuk membayar argo taksinya.
Setelah itu ia mengeluarkan ponsel dan berusaha menghubungi temannya, namun baterai ponselnya lemah dan akhirnya mati.
“Kita belum sampai. Distrik Silla masih jauh di utara sana.”
“Tidak. Aku mau turun disini saja! Hentikan taksinya sekarang juga!”Bentak Mandira, marah, takut, sambil berusaha membuka pintu belakang taksinya.
Karena pintu itu masih terkunci, Mandira akhirnya menggedor-gedor kacanya.
“Tolong kendalikan diri Anda…..!”
“Berhenti atau aku akan berteriak? Tolong……!”
“Mbak ini kenapa?”Bentak Ilyas, marah, lalu menghentikan taksinya di pinggir jalan.
“Firasatku berkata ini tidak benar. Sebaiknya aku turun dari taksi ini. Jika kau macam-macam, aku sudah memunggah foto plat nomor juga nomor pintu taksimu ke akun twitterku. Itu artinya ada bukti jika aku pernah naik taksi ini. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan diriku, polisi akan mencarimu.”
Ilyas terlihat marah, hingga wajahnya memerah dan tegang seperti singa. Ia langsung membuka pintu belakang taksinya. Setelah itu Mandira buru-buru turun dari taksi itu dan berlari mencegat taksi lainnya, Taksi Purple, yang kebetulan melintas di depannya.
* * *
Mandira mengira dirinya sudah selamat setelah keluar dari taksi Orange milik Ilyas, tapi ternyata dia keliru besar. Taksi Purple yang dinaikinya malah membawanya ke taman kota yang sepi dan gelap. Di sana muncul tiga pria berbadan tinggi kekar, yang merupakan kawanan sopir taksi yang dinaiki Mandira. Dan mereka adalah pelaku perampokan sekaligus pemerkosaan beberapa penumpang wanita akhir-akhir ini di kota Delta.
“Tolong………!”Teriak Mandira, saat berhasil lolos dari cengkraman mereka.
Mandira berlari menghampiri jalan raya. Kebetulan taksi Orange yang dikemudikan Ilyas melintas. Ilyas pun langsung turun dari taksinya untuk menolong Mandira. Setelah itu terjadi perkelahian sengit antara Ilyas melawan empat pria yang berusaha mencelakai Mandira. Satu lawan empat bukanlah pertarungan yang imbang. Mandira akhirnya ikut campur, dengan mengambil balok kayu dan memukulkannya ke kepala sopir taksi yang akan menusuk punggung Ilyas dengan pisau lipat dari belakang. Mandira lalu menarik tangan Ilyas dan mengajaknya kabur, karena tak mungkin Ilyas bisa mengalahkan empat rampok itu. Kaburlah mereka berdua dari taman kota menggunakan taksi Orange milik Ilyas.
Sampai di depan rumah susunnya yang ada di Distrik Silla, Mandira mengajak Ilyas ke kamarnya untuk mengobati luka di tangannya. Di kesempatan itu juga Mandira meminta maaf karena sudah menuduh Ilyas akan berbuat jahat pada dirinya. Padahal kenyataannya, sopir taksi lain yang mencelakainya, dan Ilyas yang menolongnya.
“Tidak semua sopir taksi itu seperti yang disebutkan berita dalam koran.”
Mandira mengangguk dan mengucapkan terimakasih, sambil memberi Ilyas secangkir kopi. Mandira lalu menyalakan televisi. Kebetulan acaranya berita malam, yang sedang menayangkan berita teraktual di kota Delta malam ini.
Telah terjadi ledakan bom bunuh diri di depan kantor walikota Marmara, yang diketahui dilakukan oleh seorang pemuda dengan membawa tas ransel berwana hitam. Ilyas tercengang saat menonton berita itu. Ia teringat pada Hugo, pemuda yang membawa tas ransel hitam, yang menumpang taksinya beberapa jam yang lalu.
“Ya ampun. Jangan-jangan pemuda itu……!”
SELESAI
Catatan : Cerita di atas hanya fiktif belaka, begitu juga dengan nama tokoh, karakter, profesi, tempat, dan kejadian di dalamnya. Apabila terdapat kemiripan, mohon jangan terlalu diambil serius. Karena itu hanya fiksi, jadi nikmatilah dalam alam imajinasi. Terimakasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar